Selasa, 29 Maret 2011

Ayah paling keren

Aku selalu mengaguminya... Dia adalah sosok luar biasa yang tidak ada duanya.
Aku selalu mengaguminya... Saat kedua tangannya menggebuk drum, dan keringat bercucuran di kening dan sekujur tubuhnya. Setiap melihatnya menggebuk drum-nya dengan garang, memutar-mutar stick drum di sela-sela jeda lagu, aku selalu membayangkan: jika saja aku bisa seperti dirinya.
Ketika dia mendengarkan lagu-lagu dari band pujaan hatinya--Iron Maiden--di rumah, dia menggenggam stick drum kesayangannya di kedua tangan. Akupun menirunya dan menggenggam kedua stick drum miliknya yang lain. Lalu kami akan menggerak-gerakkan kedua stick drum di tangan kami. Sambil menggebuk lengan kursi seakan itu simbal, sambil menggebuk kursi seakan itu senar drum, dan menghentak-hentakkan kaki di lantai dan menganggapnya seakan kami sedang menginjak pedal pemukul drum dengan semangat. Kami berkeringat. Dan kami sangat menikmati saat-saat itu.
Sepulang sekolah ketika dia masih belum berada di rumah dan masih bekerja di kantor, aku menyusup ke kamar belakang, tempat di mana satu set drum standar bertengger. Aku duduk di kursinya yang agak terlalu tinggi sehingga kakiku tidak mampu mencapai pedal. Maka aku memutar mekanisme di kursi itu untuk membuatnya menjadi lebih pendek. Semua OK, dan aku pun mulai menggebuk drum itu. Aku membayangkan seakan-akan aku dirinya, aku membayangkan seakan-akan aku juga bermain di atas panggung. Aku merasa fantastis saat itu. Sangat keren...

Sore itu, dia memutuskan untuk mengajariku memainkan drum untuk pertama kalinya. Aku ingat jantungku yang berpacu dengan cepat karena suntikan semangat yang secara mendadak mengaliri tubuhku. Dia mengatakan padaku untuk memperhatikannya. Dia memainkan drum itu dengan sederhana dan aku memperhatikannya. Setelah beberapa saat berlalu, dia menyerahkan kedua stick dalam genggamannya padaku.
 "Nyoh, maenno koyok Ayah maeng (Ini, lakukan seperti yang baru saja Ayah lakukan)," katanya sambil menahan senyum.
Aku tidak tahan untuk tidak nyengir dan meraih kedua stick itu dari tangannya yang berkeringat.
Lalu aku mulai memainkannya. Saat itu aku berpikir, aku menyukai ini, aku menyukai ini...
"Jogoen tempone, ojo koyok ngono (Jaga temponya, jangan seperti itu)," katanya lagi sambil memperhatikanku. Meski tidak mengerti maksudnya, aku mengangguk-anggukkan kepala seakan mengerti.

Lalu, ibuku datang. Dia memandangku dan mengatakan sesuatu pada ayahku yang akan mengubah segalanya.
"Aduh, mas, arek iki ojo diajari ngedrum. Tambah ngelanangi ngkok. (Aduh, mas, anak ini jangan diajari ngedrum. Nanti tambah tomboy dia.)," kata ibuku dengan raut khawatir.
Saat itu, tanpa menunggu perintah Ayah, aku berhenti memainkan set drum di hadapanku. Aku meletakkan kedua stick drum yang semula di tanganku, lalu berdiri, dan menangis.
Hari itu adalah hari pertama dan terakhir Ayah mengajariku memainkan drum.

Setiap pulang sekolah, aku masih memainkan drum di kamar belakang. Selalu memainkan yang sama. Lagi dan lagi. Lama kelamaan aku menjadi bosan dan lambat laun berhenti melakukannya.

Aku memang sudah lama berhenti memainkan set drum lagi. Aku sudah lama berhenti berharap menjadi seperti ayahku. Tapi, rasa kagumku padanya tidak pernah berubah. Bagiku, dialah ayah paling keren yang pernah ada. Ayahku.

2 komentar:

Popular Posts